Sabtu, 23 Juli 2016

Di Mana Kebahagiaanku?

Aku malu dengan semua orang-orang yang aku bodohi
Mereka sudah lama aku bodohi, sudah lama aku tipu
Semuanya, semuanya tak pernah sadar bahwa selama ini tertipu
Atau bahkan aku yang menipu diriku sendiri?

Aku malu dengan diriku yang selalu mereka banggakan
Ia begitu disegani, ia begitu dipuja, ia disukai semua orang
Bahkan juga kamu,
aku tahu kamu begitu jatuh cinta denganku,
karena aku yang dulu

Aku tidak mengerti apa yang terjadi di dalam diriku
Tolong, aku tidak punya siapa-siapalagi untuk mengerti perubahan yang terjadi
Aku tidak punya ibu yang bisa memelukku dengan segenap jiwanya
Yang bisa aku lakukan hanya menyesali semuanya,
kemudian mengulangi dosa itu, lagi dan lagi

Sudah banyak cara aku lakukan untuk memperbaikinya
Tapi belum juga aku merasakan kebahagiaan yang dulu aku rasakan
Dulu aku merasakan bahagianya kasih sayang ibu sepenuhnya,
aku mempunyai kekuatan terbesar dari doa-doa tulus milik ibu
ah, tapi malah kubuang sia-sia, aku abaikan, aku acuhkan

Dulu aku punya kamu,
kamu yang membuat aku merasa aman dengan kejamnya dunia
Aku merasa sanggup berjuang menghadapi dunia,
itu karena kamu seorang
Tak pernah aku sadari secepat ini roda berputar
Kamu menghilang, kamu mengacuhkan aku, kamu mengabaikan tatapanku

Lalu aku kehilangan ibu, aku pun juga kehilangan kamu
Saat ini yang aku lakukan hanya melakukan apa yang bisa membuatku bahagia sementara
Setidaknya aku tidak terus-menerus menangis dan menyesal
Tapi kebahagiaan itu lebih cepat hilang,
dibandingkan kebahagiaan yang selalu ibu berikan

Aku jatuh cinta denganmu itu adalah kebahagiaan yang besar
Walau tidak sebesar cinta ibu, jatuh cinta denganmu membuatku merasa selalu bahagia
Aku ingin kebahagiaanku kembali
Aku ingin aku merasa bahagia jangka panjang

Semua orang berhasil aku bodohi,
kebahagiaan yang aku tunjukkan adalah sementara
Semuanya tidak sesempurna cinta ibu
Semuanya tidak semanis jatuh cinta dengan kamu

Ibu sudah tidak bisa aku lihat,
namun untungnya kamu masih bisa aku lihat
Ke mana aku harus mencari kebahagiaan?
Bagaimana caranya agar aku mendapatkan kebahagiaan?
Kebahagiaan dengan jangka panjang
Kebahagiaan yang membuatku tenang

Aku hanya ingin tenang

Bekasi, 23 Juli 2016.

Bertemu Kamu Lagi

Saya hari ini bertemu kamu lagi, masih selalu diam, entah karena apa. Kita pun masih sama, masih diam satu sama lainnya. Tidak berani menatap satu sama lainnya, atau apa hanya saya saja yang seperti ini?

Namun saya bersyukur kamu masih sehat, tidak kurang suatu apapun. Masih punya kedua mata yang indah untuk menatap dunia ini. Masih punya kedua kaki untuk melangkah maju. Masih mempunyai mulut untuk tertawa bahagia. Dan yang terpenting, kamu masih mempunyai senyuman dan tatapan mata itu.

Dulu, saya selalu penasaran apa ujung dari cerita ini, apa yang akan terjadi antara saya dan kamu setelah keputusan kamu yang terakhir itu. Tapi saat saya melalui hari demi hari tanpa kehadiran kamu, ternyata rasanya begitu berat, begitu sesak, begitu menyedihkan.

Berat, karena ternyata apa yang selama ini dieluh-eluhkan dan dibanggakan ternyata jauh dari harapan. Sesak, karena saya tak pernah sadar bahwa suatu saat saya akan tergantikan, cepat ataupun lambat. Menyedihkan, karena selama ini saya pikir kamu masih di sini, kamu masih ada untuk berbagi cerita bersama saya seperti biasanya.

Saya tidak merasa kecewa, bahkan, saya tidak marah. Karena memang seharusnya saya yang menyadari bahwa dunia telah berputar begitu cepat. Dan kamu tidak pernah berusaha memperbaiki semuanya, hanya saya yang selalu mencari ujung dari cerita ini.

Terimakasih sudah membuat cerita indah dengan caramu sendiri. Selalu sabar mendengarkan perempuan tak bisa diam ini berbicara. Membuat saya belajar kedepannya tak akan membuat harapan yang terlalu besar, karena tak semua orang tahu apa yang selalu saya harapkan, terutama kamu.

Saya tak berani mengatakan bahwa ini adalah ujung dari cerita yang dilalui. Karena sesekali saya masih menceritakan kamu di dalam doaku, entah apakah seluruh dunia berkata 'aamiin' namun yang saya tahu setiap saya melihat sosokmu di hadapan saya. Seluruh ruang hati saya masih bergetar.

Bekasi, 21 Juli 2016.

Minggu, 05 Juni 2016

Di Atas Perasaan Cinta yang Sama



Satu tahun. Iya, sudah satu tahun saya masih berpijak di atas perasaan cinta yang sama. Puluhan tulisan, bait demi bait saya rangkai untuk kamu. Saya lakukan itu bukan hanya untuk membuatmu sadar bahwa di sini saya masih ingin mendengarkan penjelasan kamu. Tapi, saya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa saya pernah memiliki seseorang yang diam, yang unik, dan yang hebat.
Perkenalan kita sama seperti pasangan-pasangan remaja lainnya, tumbuh subur di bawah atap sebuah gedung yang berisi anak-anak berseragam putih abu-abu. Tatapan mata itu, saya masih ingat pertama kali tatapan matamu itu membuat saya mencari-cari, ‘Bagaimana bisa hanya dengan tatapan milik seorang remaja laki-laki pendiam membuat seorang remaja perempuan terus memikirkan itu 24 jam sehari?’.
Romantis dengan sisi yang berbeda, itu yang selalu saya ingat dari kamu. Kamu memang bukan tipe laki-laki yang selalu menanyakan keadaan, bertanya apakah saya sudah makan atau belum, dan pertanyaan-pertanyaan biasa yang selalu ditanyakan setiap laki-laki untuk memulai sebuah obrolan. Kamu juga bukan laki-laki yang selalu menuruti permintaan pasangannya, saya juga harus tahu diri, saya tak bisa menuntut tapi kamu selalu mewujudkannya tanpa pernah menjanjikan apapun.
Kamu adalah tipe laki-laki pendiam dan saya akui, mungkin dalam hampir satu tahun setengah semenjak perjalanan itu dimulai, sebagian besar saya yang menjadi penyulut perbincangan, dan bukan kamu. Tapi, setiap pasangan harus selalu melengkapi, bukan? Saya begitu paham sikap dan sifat kamu, jadi kamu harus tahu, setiap kamu berbicara lebih panjang dari biasanya hati saya selalu bergetar. Dan saya selalu ingat kejadian itu, begitu juga obrolan panjang yang langka itu.
Untuk urusan pertengkaran, pasangan mana yang tidak mempunyai masalah? Satu ataupun dua pasti akan muncul di antara benih-benih cinta yang kalian taburkan. Saya adalah perempuan yang paling cemburu, apalagi mendengar kata ‘mantan’ masih mengusik kehidupan kamu, saya tak tinggal diam. Sambil mengucapkan sumpah serapah untuk masa lalu kamu yang masih mengusik itu, kamu hanya berkata dengan tegas, “Jangan dengarkan dia, kalau kamu percaya saya, kamu tidak perlu cemas hanya karena kata-katanya yang jelas-jelas bohong.”
Suaramu adalah sebuah lagu penenang dalam kehidupan saya, entah baru kali ini saya menumpahkan segala harapan, impian, dan angan-angan masa depan yaitu selalu bersama kamu. Bintang seolah selalu jatuh untuk mewujudkan satu demi satu harapan yang saya panjatkan di setiap malam panjang saya. Saya percaya kamu, salah satu alasan saya selalu percaya terhadap kamu ialah kamu menjaga saya seperti apa yang saya katakan sebelum perjalanan kita dimulai.
Pundakmu itu adalah kenyamanan terindah, satu tingkat di bawah surga. Kamu menjaga saya saat saya membutuhkan solusi terbaik terhadap masalah yang sedang saya hadapi. Kamu menjaga saya dengan begitu hati-hati, seperti apa yang seharusnya laki-laki lakukan terhadap pasangannya. Saya terinspirasi untuk menjagamu dengan hati-hati juga, namun sepanjang perjalanan kita, yang saya lakukan sat itu adalah memastikan suhu tubuhmu menurun sebelum kamu mengurus sebuah acara sekolah esok harinya, namun saya harap kamu merasa terjaga saat itu.
Kamu selalu bersedia menyediakan kuping untuk mendengarkan perempuan tak bisa diam ini berbicara. Kamu begitu mengingat setiap jengkal cerita yang saya sampaikan. Saya juga yakin, kamu lelah saat mendengarkan saya bicara. Kamu bosan mendengarkan saya menceritakan sebuah cerita yang berputar-putar entah di mana pokok pikirannya, sama seperti tulisan ini sungguh berbelit-belit, tapi saya harap kamu paham di mana pokok pikirannya.
Ada satu hal yang masih belum saya paham dari kamu. Pada akhir-akhir bulan sebelum masa putih abu-abu saya berakhir, kamu dikit demi sedikit menghilang dari saya. Menghindar saat kamu tahu saya memperhatikan, mengabaikan semua panggilan dan pesan-pesan dari saya. Semua orang mulai mengkhawatirkan kita, namun betapa bodohnya saya masih menganggap itu hal yang wajar kamu lakukan karena sifat kamu yang memang tak banyak bicara.
Terakhir saya dan kamu bertemu sebagai sepasang kekasih, kamu masih diam. Kamu masih menghindar dari tatapan mata saya. Kamu juga seperti tak menganggap saya ada di dalam hari kamu saat itu. Sebelum hari itu berakhir, saya merasa cukup dengan perlakuan kamu yang seperti itu, saya harus memastikan hubungan diantara kita baik-baik saja. Kamu dengan tegasnya sambil menatap saya, “Tidak ada yang terjadi, saya baik-baik saja.” Saya kembali tersenyum saat itu, kembali ke rumah dengan suasana hati yang kembali bermekaran. Sungguh mudahnya kamu membuat diri saya kembali ceria.
Sebuah pesan singkat berbentuk suara berdurasi 4 menit 3 detik dari kamu, saya terima sore itu. Ini adalah hal bodoh lainnya yang saya lakukan, saya mendengarkan pesan singkat berbentuk suara kamu itu dengan terburu-buru. Saya berpikir, ‘Sungguh romantis sekali kamu mengirimkan sebuah pesan singkat berbentuk suara’, apalagi setelah saya baru mengerti bahwa selama ini hubungan kita baik-baik saja.
Saya terus berkata, “Sungguh, tidak apa-apa saya tidak masalah dengan semua itu,” sambil terus mendengarkan pesan singkat berbentuk suara itu. Kamu menjelaskan begitu jelas alasan di balik sikap kamu yang berubah, alasan mengapa kamu menghindar dan sikap lainnya yang membuat saya tersiksa. Kamu mengucapkan hal yang sungguh-sunguh tak pernah saya duga kamu akan mengucapkan hal itu terhadap saya. Lalu kamu menjelaskan bagaimana kamu bisa membuat keputusan seperti itu terhadap saya.
Menangis. Menangis. Dan terus menangis.
Banyak pertanyaan yang muncul di kepala saya saat itu. Tidak terima? Tentunya iya. Namun saya begitu paham bagaimana kamu, kamu tidak akan sembarang membuat keputusan. Saya masih percaya kamu punya banyak pertimbangan-pertimbangan yang membuat kamu memutuskan hal itu.
Sampai saat ini pun saya masih sama percaya itu. Walau setelah hari itu kita seperti dua orang yang tidak mengenal, sungguh saya ingin memanggil nama kamu tanpa beban seperti apa yang biasa saya lakukan. Namun, seperti lem menempel diantara ke dua bibir ini, bibir ini tak pernah terbuka bila saya melihat kamu.
Bila kamu membaca tulisan saya yang satu ini. Saya bukannya ingin membuka semuanya di dalam tulisan ini. Namun saya rindu. Kamu tau bagaimana rindu itu? Rindu itu begitu kejam. Rindu tak segan-segan menyiksa diri saya ketika saya mengingat semua hal tentang kamu.
Saya tidak merindukan kamu menjadi pasangan saya. Namun saya rindu bisa bersikap normal setiap bertemu kamu. Saya juga rindu bisa menyapa kamu dengan leluasa. Terlebih lagi, saya rindu pundak kamu dan juga tanggapan-tanggapan kamu terhadap masalah yang saya hadapi. Itu sebabnya sampai saat ini saya masih mencari kamu di antara segelintir manusia yang bisa saya ceritakan, saya masih menginginkan dan membutuhkan kamu di samping saya.
Yang terakhir, saya ingin mengingatkan bahwa rumah ini masih menginginkan kamu kembali pulang. Telinga ini masih menerima kapanpun kamu siap untuk menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaan yang masih berkumpul di pikiran saya. Dan raga ini masih kuat berdiri di atas perasaan cinta yang sama.

Sabtu, 26 Maret 2016

Aku Sedang Berbohong

Aku sedang berbohong saat ini, Ma
Kenapa Mama tidak menegur seperti apa yang biasa Mama lakukan?
Aku tahu, kau paling tidak suka bila anakmu ini berbohong

Aku sedang berbohong kalau aku tidak merindukanmu,
aku sedang berbohong bahwa saat ini aku tidak membutuhkanmu,
aku sedang berbohong jika saat ini aku tidak lagi menangis

Peluk lagi anak perempuanmu ini, Ma
Aku rindu...
Arahkan lagi aku seperti yang biasa kau lakukan, Ma
Aku tersesat...

Aku ingin menangis,
dan juga mengadu di hadapanmu, Mama
Aku ingin kau mendekapku lagi seperti dulu
Aku rindu hangatnya tubuhmu,
aroma tubuhmu juga kurindu, Ma

Di mana aku saat itu?
Di mana aku, saat kau membutuhkanku?

Penyesalan yang saat ini aku lakukan memang tiada guna
Aku membuang semua waktu yang Tuhan sediakan untuk diriku
untuk mendekapmu lebih lama,
untuk mengatakan bahwa aku begitu mencintaimu berulang kali

Apa kau melihatku saat ini, Ma?
Apa kau mendengarku saat ini, Ma?

Dengarkan aku, Ma
Aku mencintaimu
Dan juga merindukanmu

Selasa, 15 Maret 2016

Sekuat Hati Mama

Apa kau pernah berjalan bergandengan dengan kedua orangtua kalian?
Sangat bahagia dan nyaman bukan?

Bagaimana bila mereka menarikmu ke dua tempat yang berbeda?
Mana yang akan kau ikuti,
mana yang akan kau percaya,
mana yang akan kau pilih

Sulit?

Bagaimana bila salah satu dari mereka menghilang,
dan padahal disaat itu kalian lebih mempercayai sisi yang hilang tersebut,
apa kalian akan memilih sisi satunya?

Aku belum siap untuk perdebatan ini,
namun ketika Mama pergi itu pertanda ia percaya kepadaku
Ia percaya bahwa aku tetap disisinya walau sendirian,
bahwa aku kuat berdiri sendiri seperti apa yang dulu ia lakukan

Mama, sekarang aku paham betul apa yang kau risaukan
Aku begitu paham kenapa kau tak ingin aku mengambil langkah yang sama

Mama tenanglah, aku akan tumbuh setiap harinya
Aku pasti akan semakin kuat setiap harinya

Jangan, jangan pikirkan aku yang masih di sini
Biarkan saja aku yang selalu memikirkanmu dan menjagamu
Setiap hari aku bertanya kepada Tuhan tentang kabarmu, Ma
Dan Mama menjawabnya dengan tersenyum di dalam mimpiku

Cintamu yang paling tulus yang pernah aku rasakan, Ma
Karena itulah aku akan menjadi sekuat apa yang dulu kau ajarkan
Walau tetap aku tak bisa sekuat hatimu, Mama

Sabtu, 05 Maret 2016

Terkikis Waktu

Ini bukan kesalahan dari jalan yang aku pilih
Ini juga bukan kesalahan dari jalan yang engkau pilih

Kita itu hebat, bisa tetap mengikatkan apa yang seharusnya tidak kita ikat
Sampai akhirnya,
ada sebuah peringatan untuk kita berhenti mengikat
Bertubi-tubi peringatan itu datang sampai ikatan kita menipis

Lalu hanya menjadi semu sampai tak terlihat
Aku tak menyangka pada akhirnya kau tak melihat ikatan itu
Padahal ikatan itulah yang membuat kita sampai di sini

Iya, berjuang sejauh ini
Menepis semua peringatan-peringatan yang muncul di hadapan kita
Kau bilang untuk aku berada di belakangmu saja,
dan kau akan menepis peringatan yang datang
Tapi bagiku itu namanya tak adil,
aku ingin merasakan bagaimana berjuang bersama

Tapi kini, kenapa kau takut?
Apa peringatan yang datang semakin keras?

Jika kau ada waktu
Tolong jenguklah kedua tangan yang terbuka menampung namamu
Jika aku ada waktu
Aku akan mengunjungi kedua tanganmu yang tertutup
Entah apa namaku masih tertampung pada kedua tanganmu itu

Sungguh, aku tak pernah menyesali keadaan ini
Apalagi, aku tidak akan menyalahkan,
jika kita memang berbeda

Requested by Someone.

Senin, 22 Februari 2016

Apa yang Sedang Mama Persiapkan?

"Ketahuilah, Tania dan Dede... Daun yang jatuh tak pernah membenci angin... Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. Tania, kau lebih dari dewasa untuk memahami kalimat itu... Tidak sekarang, esok lusa kau akan tahu artinya... Dan saat kau tahu apa artinya, semua ini akan terlihat berbeda. Kita harus pulang, Tania."

Aku menelan ludah. Tertunduk.

"Dan Dede... Bukankan Oom pernah ikut bersamamu saat mengubur si ikan cupang? Ibu juga tak akan pernah kembali seperti si ikan cupang. Dia sudah pergi ke tempat yang paling indah... Surga yang sering Oom ceritakan setiap hari Minggu... Ibu akan bahagia di sana..."

"Tetapi kenapa Ibu tidak mengajak Dede!" adikku memotong dengan suara terisak, berusaha mengibaskan tangan dia. Kakinya semakin menghujam dalam di atas tanah merah.

"Karena Ibu sedang menyiapkan banyak hal di sana... Seperti saat pagi-pagi Ibu menyiapkan sarapan buat Dede dan Tania... Nanti, kalau sudah siap, kita juga akan pergi ke sana suatu saat... Sekarang kita hanya akan mengganggu saja.

"Ibu akan datang seperti saat membangunkan kalian pagi-pagi untuk bersiap berangkat sekolah... Tetapi sebelum waktunya tiba, kita harus pulang ke rumah malam ini, tidur yang nyenyak, esok pagi bangun melanjutkan kehidupan... Suatu hari nanti kita akan bertemu lagi dengan Ibu... Dia pasti menjemput."

—Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Tere Liye.

***

Hari ini hari ke 4 tanpa adanya kehadiranmu Mama. Tidak ada yang membangunkanku untuk menyiapkan Quacker Oatmeal setiap paginya. Apa Mama tidak lapar?

Setelah mengantar Ayah dan Dede, aku terbiasa menengok ke dalam kamar. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi yang tergulai lemah di sana. Mama dimana?

Aku bersyukur, Mama tidak perlu lagi berteriak, meringis, menangis merasakan sakitnya. Mama adalah orang terkuat yang mampu melawan apa yang sedang menyerangnya. Tapi, kenapa Mama menyerah? Apa penyakit itu terlalu jahat?

Pukul 8 pagi, 2 siang, dan 8 malam, Mama tidak perlu lagi menenggak obat-obat pahit yang selalu Mama keluhkan. "Kenapa banyak sekali?" pertanyaan itu selalu dilontarkan Mama ketika aku membawa obat-obatnya untuk diminum. Namun sekarang Mama sudah terbebas dari obat-obat yang pahit itu.

Sekarang sayur di rumah selalu tidak habis, Ma. Dede jadi susah makan karena tidak ada yang menyuapi, kalau aku, aku masih seperti dulu yang tidak suka makan sayur. Mama kenapa tidak marah lagi ketika aku tidak makan sayur? Tapi tenang, Ayah tidak pernah absen untuk memaksaku menghabiskan sayur pada malam hari.

Ah iya, apa Mama sudah tahu kalau Dede akan maju mewakili Jatiasih untuk olimpiade matematika bulan Maret nanti? Aku malu, Ma, Dede sekecil itu sudah bisa membuatmu dan Ayah bahagia. Mama harus dengar apa yang Dede ucapkan kemarin pada saat upacara, "Ini kado spesial untuk Mama."

Lalu Dede bertanya kepadaku, "Kenapa guru-guru menangis? Caca juga kenapa menangis? Dede, kan, menang lomba, masa menangis?" Apa yang harus aku katakan kepada Dede, Ma?

Aku tak tahu, Ma. Apa yang Dede rasakan saat ini, Dede masih bermain mobil-mobilannya seperti biasa, atau bermain game di handphone Mama. Kenapa Mama tidak memarahi Dede lagi karena lebih sering bermain?

Ayah untuk seminggu ke depan pulang cepat dari biasanya, katanya takut kalau aku sama Dede sendirian. Tapi aku sedih, Ma, saat melihat Ayah selalu menengok ke dalam kamar dan sudah tidak ada Mama disitu, mata Ayah selalu memerah. Aku lebih suka Ayah terus bekerja daripada melihat Ayah menangis.

Pukul 9 malam aku menemani Ayah makan malam, dan terkadang dipaksa ikut makan juga. Hah, sudah berapa kilogram berat badanku naik. Apa Mama tidak mau menemani Ayah makan malam seperti biasanya?

Sudah 4 hari, apa yang sudah Mama persiapkan disana? Apa yang akan Mama perlihatkan kepada kami nantinya? Mama pasti menyiapkan untuk kita bersama-sama lagi, kan?

Aku senang membayangkan Mama disana bisa berjalan seperti dahulu. Pasti Mama juga merindukan kaki Mama yang sehat, kan? Mama pasti merias diri Mama untuk bertemu dengan kami kembali. Mama selalu cantik dalam kondisi apapun, apalagi sekarang Mama di Surga, tempat terindah yang disiapkan Tuhan untuk Mama terhebat yang kuat menghadapi sesuatu.

Saat Mama di jemput, apa Mama bertemu malaikat tampan seperti drama Korea kesukaan Mama yaitu 49 Days? Ah, setidaknya Mama tidak perlu bersusah payah mengumpulkan 3 tetes air mata untuk beristirahat dengan tenang.

Terimakasih Tuhan, Kau telah mempersilahkan aku lebih dekat dengan Mama untuk beberapa bulan ini. Entah apa bisa aku menebus kesalahanku sebelumnya, namun aku bisa merasakan kasih sayang Mama di minggu-minggu terakhirnya.

Caca sayang Mama selalu dan sampai kapanpun.
— 23 Februari 2016, 08:52 WIB.

Rabu, 06 Januari 2016

7 Januari

7 Januari 2016
Halaman ke-7 dari 366 halaman di tahun 2016

Kalender menunjukkan bahwa sekarang adalah hari Kamis
Tepat di tanggal 7 Januari

Aku sepertinya mengingat sesuatu pada tanggal ini
Hari ulangtahunku? Bukan.
Hari kelulusanku? Tentu saja bukan.
Lalu apa yang terjadi pada tanggal ini?

Tepat 2 tahun lalu aku bertemu denganmu
Tepat 2 tahun lalu hariku berubah menjadi lebih bahagia
Alasannya,
2 tahun lalu adalah awal cerita kita ditulis

Hari ini,
Izinkan aku membuka kembali lembaran-lembaran yang aku tulis bersamamu

Lembar ke-1,
Dimulai dari engkau memperkenalkanku pada duniamu
Mengenalkan sahabatmu, apa yang kau suka, dan berbagai hal lainnya
Sebaliknya juga aku memperkenalkanmu pada duniaku

Lembar ke-2,
Kau menggambarkan semua kegiatanmu
Ah! Kita punya satu kegiatan yang sama,
Yaitu sama-sama gemar mengagumi indahnya Jepang,
Itu juga salah satu alasan mengapa kita bisa bertemu saat itu
Namun sepertinya kegiatanmu lebih banyak dari kegiatanku
Aku takut, tapi tak apa selama kau senang dengan kegiatanmu

Lembar ke-3 sampai ke-7,
Kau memperlihatkan semua sisi baikmu
Semua sisi manismu yang membuatku hampir meleleh seperti es krim
Semua sisi romantismu yang mungkin hanya aku yang mengerti itu
Diujung lembar-lembar ini aku menggambar senyumanmu
Agar seluruh dunia tahu, senyuman inilah yang membuatku jatuh cinta

Lembar ke-8 sampai ke-11,
Kau mulai menunjukkan sikap dinginmu kepadaku
Sikap dingin yang mempunyai kehangatan tersendiri dalam hatiku
Ternyata benar,
Kau sangat sibuk dengan kegiatanmu dan semakin dingin
Aku pun semakin takut setiap harinya

Lembar ke-12,
Aku menghias lembar ini dengan sangat cantik
Penuh dengan bintang-bintang dan harapan
Baru kali ini aku berani berharap sebesar ini
Dan itu hanya karena kamu

Lembar ke-13 sampai ke-16,
Tak banyak yang kita tulis pada lembar-lembar ini
Karena kita hanya menulis di buku masing-masing
Kamu hilang, menghindar, dan bersikap tak acuh padaku
Tidak, ini bukan cerita yang biasa kita tulis
Aku mulai merasa seperti tidak ada kita lagi

Namun disetiap lembar terselip beberapa hal
Hal-hal kecil yang menunjukkan bahwa kau tulus
Memperlihatkan hatimu yang manis dibalik sikap dinginmu
Kau bersikap romantis dengan caramu sendiri di setiap lembarnya

Setelah lembar ke-13 sampai ke-16,
Banyak air mata dan doa yang tertuai di lembar-lembar ini
Aku menyadari bahwa kini hanya aku sendiri yang menulis
Lembar demi lembar aku lewati tanpamu

Maaf, mungkin hingga kini aku masih membuatmu bising dengan puisiku
Maaf, aku selalu berusaha hadir dihadapanmu
Maaf, bila kau merasa lelah dengan tingkahku yang memaksamu kembali

Aku hanya meminta agar Tuhan selalu menjaga dan memelukmu
Dan juga memberikanmu yang terbaik,
Agar kau bahagia tentunya
Semoga saja Tuhan akan menuliskan namaku pada bukumu nanti

—7 Januari 2016, masih menulis pada buku yang sama. Dan entah apa akhir dari buku ini.