Aku malu dengan semua orang-orang yang aku bodohi
Mereka sudah lama aku bodohi, sudah lama aku tipu
Semuanya, semuanya tak pernah sadar bahwa selama ini tertipu
Atau bahkan aku yang menipu diriku sendiri?
Aku malu dengan diriku yang selalu mereka banggakan
Ia begitu disegani, ia begitu dipuja, ia disukai semua orang
Bahkan juga kamu,
aku tahu kamu begitu jatuh cinta denganku,
karena aku yang dulu
Aku tidak mengerti apa yang terjadi di dalam diriku
Tolong, aku tidak punya siapa-siapalagi untuk mengerti perubahan yang terjadi
Aku tidak punya ibu yang bisa memelukku dengan segenap jiwanya
Yang bisa aku lakukan hanya menyesali semuanya,
kemudian mengulangi dosa itu, lagi dan lagi
Sudah banyak cara aku lakukan untuk memperbaikinya
Tapi belum juga aku merasakan kebahagiaan yang dulu aku rasakan
Dulu aku merasakan bahagianya kasih sayang ibu sepenuhnya,
aku mempunyai kekuatan terbesar dari doa-doa tulus milik ibu
ah, tapi malah kubuang sia-sia, aku abaikan, aku acuhkan
Dulu aku punya kamu,
kamu yang membuat aku merasa aman dengan kejamnya dunia
Aku merasa sanggup berjuang menghadapi dunia,
itu karena kamu seorang
Tak pernah aku sadari secepat ini roda berputar
Kamu menghilang, kamu mengacuhkan aku, kamu mengabaikan tatapanku
Lalu aku kehilangan ibu, aku pun juga kehilangan kamu
Saat ini yang aku lakukan hanya melakukan apa yang bisa membuatku bahagia sementara
Setidaknya aku tidak terus-menerus menangis dan menyesal
Tapi kebahagiaan itu lebih cepat hilang,
dibandingkan kebahagiaan yang selalu ibu berikan
Aku jatuh cinta denganmu itu adalah kebahagiaan yang besar
Walau tidak sebesar cinta ibu, jatuh cinta denganmu membuatku merasa selalu bahagia
Aku ingin kebahagiaanku kembali
Aku ingin aku merasa bahagia jangka panjang
Semua orang berhasil aku bodohi,
kebahagiaan yang aku tunjukkan adalah sementara
Semuanya tidak sesempurna cinta ibu
Semuanya tidak semanis jatuh cinta dengan kamu
Ibu sudah tidak bisa aku lihat,
namun untungnya kamu masih bisa aku lihat
Ke mana aku harus mencari kebahagiaan?
Bagaimana caranya agar aku mendapatkan kebahagiaan?
Kebahagiaan dengan jangka panjang
Kebahagiaan yang membuatku tenang
Aku hanya ingin tenang
Bekasi, 23 Juli 2016.
Little Things
with or without you by my side, I'm gonna achieve all the goals I have set/tapi boong/
Sabtu, 23 Juli 2016
Bertemu Kamu Lagi
Saya hari ini bertemu kamu lagi, masih selalu diam, entah karena apa. Kita pun masih sama, masih diam satu sama lainnya. Tidak berani menatap satu sama lainnya, atau apa hanya saya saja yang seperti ini?
Namun saya bersyukur kamu masih sehat, tidak kurang suatu apapun. Masih punya kedua mata yang indah untuk menatap dunia ini. Masih punya kedua kaki untuk melangkah maju. Masih mempunyai mulut untuk tertawa bahagia. Dan yang terpenting, kamu masih mempunyai senyuman dan tatapan mata itu.
Dulu, saya selalu penasaran apa ujung dari cerita ini, apa yang akan terjadi antara saya dan kamu setelah keputusan kamu yang terakhir itu. Tapi saat saya melalui hari demi hari tanpa kehadiran kamu, ternyata rasanya begitu berat, begitu sesak, begitu menyedihkan.
Berat, karena ternyata apa yang selama ini dieluh-eluhkan dan dibanggakan ternyata jauh dari harapan. Sesak, karena saya tak pernah sadar bahwa suatu saat saya akan tergantikan, cepat ataupun lambat. Menyedihkan, karena selama ini saya pikir kamu masih di sini, kamu masih ada untuk berbagi cerita bersama saya seperti biasanya.
Saya tidak merasa kecewa, bahkan, saya tidak marah. Karena memang seharusnya saya yang menyadari bahwa dunia telah berputar begitu cepat. Dan kamu tidak pernah berusaha memperbaiki semuanya, hanya saya yang selalu mencari ujung dari cerita ini.
Terimakasih sudah membuat cerita indah dengan caramu sendiri. Selalu sabar mendengarkan perempuan tak bisa diam ini berbicara. Membuat saya belajar kedepannya tak akan membuat harapan yang terlalu besar, karena tak semua orang tahu apa yang selalu saya harapkan, terutama kamu.
Saya tak berani mengatakan bahwa ini adalah ujung dari cerita yang dilalui. Karena sesekali saya masih menceritakan kamu di dalam doaku, entah apakah seluruh dunia berkata 'aamiin' namun yang saya tahu setiap saya melihat sosokmu di hadapan saya. Seluruh ruang hati saya masih bergetar.
Bekasi, 21 Juli 2016.
Namun saya bersyukur kamu masih sehat, tidak kurang suatu apapun. Masih punya kedua mata yang indah untuk menatap dunia ini. Masih punya kedua kaki untuk melangkah maju. Masih mempunyai mulut untuk tertawa bahagia. Dan yang terpenting, kamu masih mempunyai senyuman dan tatapan mata itu.
Dulu, saya selalu penasaran apa ujung dari cerita ini, apa yang akan terjadi antara saya dan kamu setelah keputusan kamu yang terakhir itu. Tapi saat saya melalui hari demi hari tanpa kehadiran kamu, ternyata rasanya begitu berat, begitu sesak, begitu menyedihkan.
Berat, karena ternyata apa yang selama ini dieluh-eluhkan dan dibanggakan ternyata jauh dari harapan. Sesak, karena saya tak pernah sadar bahwa suatu saat saya akan tergantikan, cepat ataupun lambat. Menyedihkan, karena selama ini saya pikir kamu masih di sini, kamu masih ada untuk berbagi cerita bersama saya seperti biasanya.
Saya tidak merasa kecewa, bahkan, saya tidak marah. Karena memang seharusnya saya yang menyadari bahwa dunia telah berputar begitu cepat. Dan kamu tidak pernah berusaha memperbaiki semuanya, hanya saya yang selalu mencari ujung dari cerita ini.
Terimakasih sudah membuat cerita indah dengan caramu sendiri. Selalu sabar mendengarkan perempuan tak bisa diam ini berbicara. Membuat saya belajar kedepannya tak akan membuat harapan yang terlalu besar, karena tak semua orang tahu apa yang selalu saya harapkan, terutama kamu.
Saya tak berani mengatakan bahwa ini adalah ujung dari cerita yang dilalui. Karena sesekali saya masih menceritakan kamu di dalam doaku, entah apakah seluruh dunia berkata 'aamiin' namun yang saya tahu setiap saya melihat sosokmu di hadapan saya. Seluruh ruang hati saya masih bergetar.
Bekasi, 21 Juli 2016.
Minggu, 05 Juni 2016
Di Atas Perasaan Cinta yang Sama
Satu tahun. Iya,
sudah satu tahun saya masih berpijak di atas perasaan cinta yang sama. Puluhan
tulisan, bait demi bait saya rangkai untuk kamu. Saya lakukan itu bukan hanya
untuk membuatmu sadar bahwa di sini saya masih ingin mendengarkan penjelasan
kamu. Tapi, saya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa saya pernah memiliki
seseorang yang diam, yang unik, dan yang hebat.
Perkenalan kita
sama seperti pasangan-pasangan remaja lainnya, tumbuh subur di bawah atap
sebuah gedung yang berisi anak-anak berseragam putih abu-abu. Tatapan mata itu,
saya masih ingat pertama kali tatapan matamu itu membuat saya mencari-cari, ‘Bagaimana bisa hanya dengan tatapan milik
seorang remaja laki-laki pendiam membuat seorang remaja perempuan terus
memikirkan itu 24 jam sehari?’.
Romantis dengan
sisi yang berbeda, itu yang selalu saya ingat dari kamu. Kamu memang bukan tipe
laki-laki yang selalu menanyakan keadaan, bertanya apakah saya sudah makan atau
belum, dan pertanyaan-pertanyaan biasa yang selalu ditanyakan setiap laki-laki
untuk memulai sebuah obrolan. Kamu juga bukan laki-laki yang selalu menuruti
permintaan pasangannya, saya juga harus tahu diri, saya tak bisa menuntut tapi
kamu selalu mewujudkannya tanpa pernah menjanjikan apapun.
Kamu adalah tipe
laki-laki pendiam dan saya akui, mungkin dalam hampir satu tahun setengah
semenjak perjalanan itu dimulai, sebagian besar saya yang menjadi penyulut
perbincangan, dan bukan kamu. Tapi, setiap pasangan harus selalu melengkapi,
bukan? Saya begitu paham sikap dan sifat kamu, jadi kamu harus tahu, setiap
kamu berbicara lebih panjang dari biasanya hati saya selalu bergetar. Dan saya
selalu ingat kejadian itu, begitu juga obrolan panjang yang langka itu.
Untuk urusan
pertengkaran, pasangan mana yang tidak mempunyai masalah? Satu ataupun dua
pasti akan muncul di antara benih-benih cinta yang kalian taburkan. Saya adalah
perempuan yang paling cemburu, apalagi mendengar kata ‘mantan’ masih mengusik
kehidupan kamu, saya tak tinggal diam. Sambil mengucapkan sumpah serapah untuk
masa lalu kamu yang masih mengusik itu, kamu hanya berkata dengan tegas,
“Jangan dengarkan dia, kalau kamu percaya saya, kamu tidak perlu cemas hanya
karena kata-katanya yang jelas-jelas bohong.”
Suaramu adalah
sebuah lagu penenang dalam kehidupan saya, entah baru kali ini saya menumpahkan
segala harapan, impian, dan angan-angan masa depan yaitu selalu bersama kamu.
Bintang seolah selalu jatuh untuk mewujudkan satu demi satu harapan yang saya
panjatkan di setiap malam panjang saya. Saya percaya kamu, salah satu alasan
saya selalu percaya terhadap kamu ialah kamu menjaga saya seperti apa yang saya
katakan sebelum perjalanan kita dimulai.
Pundakmu itu
adalah kenyamanan terindah, satu tingkat di bawah surga. Kamu menjaga saya saat
saya membutuhkan solusi terbaik terhadap masalah yang sedang saya hadapi. Kamu
menjaga saya dengan begitu hati-hati, seperti apa yang seharusnya laki-laki
lakukan terhadap pasangannya. Saya terinspirasi untuk menjagamu dengan
hati-hati juga, namun sepanjang perjalanan kita, yang saya lakukan sat itu adalah
memastikan suhu tubuhmu menurun sebelum kamu mengurus sebuah acara sekolah esok
harinya, namun saya harap kamu merasa terjaga saat itu.
Kamu selalu
bersedia menyediakan kuping untuk mendengarkan perempuan tak bisa diam ini
berbicara. Kamu begitu mengingat setiap jengkal cerita yang saya sampaikan.
Saya juga yakin, kamu lelah saat mendengarkan saya bicara. Kamu bosan
mendengarkan saya menceritakan sebuah cerita yang berputar-putar entah di mana
pokok pikirannya, sama seperti tulisan ini sungguh berbelit-belit, tapi saya
harap kamu paham di mana pokok pikirannya.
Ada satu hal
yang masih belum saya paham dari kamu. Pada akhir-akhir bulan sebelum masa
putih abu-abu saya berakhir, kamu dikit demi sedikit menghilang dari saya.
Menghindar saat kamu tahu saya memperhatikan, mengabaikan semua panggilan dan
pesan-pesan dari saya. Semua orang mulai mengkhawatirkan kita, namun betapa
bodohnya saya masih menganggap itu hal yang wajar kamu lakukan karena sifat kamu
yang memang tak banyak bicara.
Terakhir saya
dan kamu bertemu sebagai sepasang kekasih, kamu masih diam. Kamu masih
menghindar dari tatapan mata saya. Kamu juga seperti tak menganggap saya ada di
dalam hari kamu saat itu. Sebelum hari itu berakhir, saya merasa cukup dengan
perlakuan kamu yang seperti itu, saya harus memastikan hubungan diantara kita baik-baik
saja. Kamu dengan tegasnya sambil menatap saya, “Tidak ada yang terjadi, saya
baik-baik saja.” Saya kembali tersenyum saat itu, kembali ke rumah dengan
suasana hati yang kembali bermekaran. Sungguh mudahnya kamu membuat diri saya
kembali ceria.
Sebuah pesan
singkat berbentuk suara berdurasi 4 menit 3 detik dari kamu, saya terima sore
itu. Ini adalah hal bodoh lainnya yang saya lakukan, saya mendengarkan pesan
singkat berbentuk suara kamu itu dengan terburu-buru. Saya berpikir, ‘Sungguh romantis sekali kamu mengirimkan
sebuah pesan singkat berbentuk suara’, apalagi setelah saya baru mengerti
bahwa selama ini hubungan kita baik-baik saja.
Saya terus
berkata, “Sungguh, tidak apa-apa saya tidak masalah dengan semua itu,” sambil
terus mendengarkan pesan singkat berbentuk suara itu. Kamu menjelaskan begitu
jelas alasan di balik sikap kamu yang berubah, alasan mengapa kamu menghindar
dan sikap lainnya yang membuat saya tersiksa. Kamu mengucapkan hal yang
sungguh-sunguh tak pernah saya duga kamu akan mengucapkan hal itu terhadap
saya. Lalu kamu menjelaskan bagaimana kamu bisa membuat keputusan seperti itu
terhadap saya.
Menangis.
Menangis. Dan terus menangis.
Banyak
pertanyaan yang muncul di kepala saya saat itu. Tidak terima? Tentunya iya.
Namun saya begitu paham bagaimana kamu, kamu tidak akan sembarang membuat
keputusan. Saya masih percaya kamu punya banyak pertimbangan-pertimbangan yang
membuat kamu memutuskan hal itu.
Sampai saat ini
pun saya masih sama percaya itu. Walau setelah hari itu kita seperti dua orang
yang tidak mengenal, sungguh saya ingin memanggil nama kamu tanpa beban seperti
apa yang biasa saya lakukan. Namun, seperti lem menempel diantara ke dua bibir
ini, bibir ini tak pernah terbuka bila saya melihat kamu.
Bila kamu
membaca tulisan saya yang satu ini. Saya bukannya ingin membuka semuanya di
dalam tulisan ini. Namun saya rindu. Kamu tau bagaimana rindu itu? Rindu itu
begitu kejam. Rindu tak segan-segan menyiksa diri saya ketika saya mengingat
semua hal tentang kamu.
Saya tidak
merindukan kamu menjadi pasangan saya. Namun saya rindu bisa bersikap normal
setiap bertemu kamu. Saya juga rindu bisa menyapa kamu dengan leluasa. Terlebih
lagi, saya rindu pundak kamu dan juga tanggapan-tanggapan kamu terhadap masalah
yang saya hadapi. Itu sebabnya sampai saat ini saya masih mencari kamu di
antara segelintir manusia yang bisa saya ceritakan, saya masih menginginkan dan
membutuhkan kamu di samping saya.
Yang terakhir,
saya ingin mengingatkan bahwa rumah ini masih menginginkan kamu kembali pulang.
Telinga ini masih menerima kapanpun kamu siap untuk menjelaskan semua
pertanyaan-pertanyaan yang masih berkumpul di pikiran saya. Dan raga ini masih
kuat berdiri di atas perasaan cinta yang sama.
Sabtu, 26 Maret 2016
Aku Sedang Berbohong
Aku sedang berbohong saat ini, Ma
Kenapa Mama tidak menegur seperti apa yang biasa Mama lakukan?
Aku tahu, kau paling tidak suka bila anakmu ini berbohong
Aku sedang berbohong kalau aku tidak merindukanmu,
aku sedang berbohong bahwa saat ini aku tidak membutuhkanmu,
aku sedang berbohong jika saat ini aku tidak lagi menangis
Peluk lagi anak perempuanmu ini, Ma
Aku rindu...
Arahkan lagi aku seperti yang biasa kau lakukan, Ma
Aku tersesat...
Aku ingin menangis,
dan juga mengadu di hadapanmu, Mama
Aku ingin kau mendekapku lagi seperti dulu
Aku rindu hangatnya tubuhmu,
aroma tubuhmu juga kurindu, Ma
Di mana aku saat itu?
Di mana aku, saat kau membutuhkanku?
Penyesalan yang saat ini aku lakukan memang tiada guna
Aku membuang semua waktu yang Tuhan sediakan untuk diriku
untuk mendekapmu lebih lama,
untuk mengatakan bahwa aku begitu mencintaimu berulang kali
Apa kau melihatku saat ini, Ma?
Apa kau mendengarku saat ini, Ma?
Dengarkan aku, Ma
Aku mencintaimu
Dan juga merindukanmu
Kenapa Mama tidak menegur seperti apa yang biasa Mama lakukan?
Aku tahu, kau paling tidak suka bila anakmu ini berbohong
Aku sedang berbohong kalau aku tidak merindukanmu,
aku sedang berbohong bahwa saat ini aku tidak membutuhkanmu,
aku sedang berbohong jika saat ini aku tidak lagi menangis
Peluk lagi anak perempuanmu ini, Ma
Aku rindu...
Arahkan lagi aku seperti yang biasa kau lakukan, Ma
Aku tersesat...
Aku ingin menangis,
dan juga mengadu di hadapanmu, Mama
Aku ingin kau mendekapku lagi seperti dulu
Aku rindu hangatnya tubuhmu,
aroma tubuhmu juga kurindu, Ma
Di mana aku saat itu?
Di mana aku, saat kau membutuhkanku?
Penyesalan yang saat ini aku lakukan memang tiada guna
Aku membuang semua waktu yang Tuhan sediakan untuk diriku
untuk mendekapmu lebih lama,
untuk mengatakan bahwa aku begitu mencintaimu berulang kali
Apa kau melihatku saat ini, Ma?
Apa kau mendengarku saat ini, Ma?
Dengarkan aku, Ma
Aku mencintaimu
Dan juga merindukanmu
Selasa, 15 Maret 2016
Sekuat Hati Mama
Apa kau pernah berjalan bergandengan dengan kedua orangtua kalian?
Sangat bahagia dan nyaman bukan?
Bagaimana bila mereka menarikmu ke dua tempat yang berbeda?
Mana yang akan kau ikuti,
mana yang akan kau percaya,
mana yang akan kau pilih
Sulit?
Bagaimana bila salah satu dari mereka menghilang,
dan padahal disaat itu kalian lebih mempercayai sisi yang hilang tersebut,
apa kalian akan memilih sisi satunya?
Aku belum siap untuk perdebatan ini,
namun ketika Mama pergi itu pertanda ia percaya kepadaku
Ia percaya bahwa aku tetap disisinya walau sendirian,
bahwa aku kuat berdiri sendiri seperti apa yang dulu ia lakukan
Mama, sekarang aku paham betul apa yang kau risaukan
Aku begitu paham kenapa kau tak ingin aku mengambil langkah yang sama
Mama tenanglah, aku akan tumbuh setiap harinya
Aku pasti akan semakin kuat setiap harinya
Jangan, jangan pikirkan aku yang masih di sini
Biarkan saja aku yang selalu memikirkanmu dan menjagamu
Setiap hari aku bertanya kepada Tuhan tentang kabarmu, Ma
Dan Mama menjawabnya dengan tersenyum di dalam mimpiku
Cintamu yang paling tulus yang pernah aku rasakan, Ma
Karena itulah aku akan menjadi sekuat apa yang dulu kau ajarkan
Walau tetap aku tak bisa sekuat hatimu, Mama
Sangat bahagia dan nyaman bukan?
Bagaimana bila mereka menarikmu ke dua tempat yang berbeda?
Mana yang akan kau ikuti,
mana yang akan kau percaya,
mana yang akan kau pilih
Sulit?
Bagaimana bila salah satu dari mereka menghilang,
dan padahal disaat itu kalian lebih mempercayai sisi yang hilang tersebut,
apa kalian akan memilih sisi satunya?
Aku belum siap untuk perdebatan ini,
namun ketika Mama pergi itu pertanda ia percaya kepadaku
Ia percaya bahwa aku tetap disisinya walau sendirian,
bahwa aku kuat berdiri sendiri seperti apa yang dulu ia lakukan
Mama, sekarang aku paham betul apa yang kau risaukan
Aku begitu paham kenapa kau tak ingin aku mengambil langkah yang sama
Mama tenanglah, aku akan tumbuh setiap harinya
Aku pasti akan semakin kuat setiap harinya
Jangan, jangan pikirkan aku yang masih di sini
Biarkan saja aku yang selalu memikirkanmu dan menjagamu
Setiap hari aku bertanya kepada Tuhan tentang kabarmu, Ma
Dan Mama menjawabnya dengan tersenyum di dalam mimpiku
Cintamu yang paling tulus yang pernah aku rasakan, Ma
Karena itulah aku akan menjadi sekuat apa yang dulu kau ajarkan
Walau tetap aku tak bisa sekuat hatimu, Mama
Sabtu, 05 Maret 2016
Terkikis Waktu
Ini bukan kesalahan dari jalan yang aku pilih
Ini juga bukan kesalahan dari jalan yang engkau pilih
Kita itu hebat, bisa tetap mengikatkan apa yang seharusnya tidak kita ikat
Sampai akhirnya,
ada sebuah peringatan untuk kita berhenti mengikat
Bertubi-tubi peringatan itu datang sampai ikatan kita menipis
Lalu hanya menjadi semu sampai tak terlihat
Aku tak menyangka pada akhirnya kau tak melihat ikatan itu
Padahal ikatan itulah yang membuat kita sampai di sini
Iya, berjuang sejauh ini
Menepis semua peringatan-peringatan yang muncul di hadapan kita
Kau bilang untuk aku berada di belakangmu saja,
dan kau akan menepis peringatan yang datang
Tapi bagiku itu namanya tak adil,
aku ingin merasakan bagaimana berjuang bersama
Tapi kini, kenapa kau takut?
Apa peringatan yang datang semakin keras?
Jika kau ada waktu
Tolong jenguklah kedua tangan yang terbuka menampung namamu
Jika aku ada waktu
Aku akan mengunjungi kedua tanganmu yang tertutup
Entah apa namaku masih tertampung pada kedua tanganmu itu
Sungguh, aku tak pernah menyesali keadaan ini
Apalagi, aku tidak akan menyalahkan,
jika kita memang berbeda
Requested by Someone.
Ini juga bukan kesalahan dari jalan yang engkau pilih
Kita itu hebat, bisa tetap mengikatkan apa yang seharusnya tidak kita ikat
Sampai akhirnya,
ada sebuah peringatan untuk kita berhenti mengikat
Bertubi-tubi peringatan itu datang sampai ikatan kita menipis
Lalu hanya menjadi semu sampai tak terlihat
Aku tak menyangka pada akhirnya kau tak melihat ikatan itu
Padahal ikatan itulah yang membuat kita sampai di sini
Iya, berjuang sejauh ini
Menepis semua peringatan-peringatan yang muncul di hadapan kita
Kau bilang untuk aku berada di belakangmu saja,
dan kau akan menepis peringatan yang datang
Tapi bagiku itu namanya tak adil,
aku ingin merasakan bagaimana berjuang bersama
Tapi kini, kenapa kau takut?
Apa peringatan yang datang semakin keras?
Jika kau ada waktu
Tolong jenguklah kedua tangan yang terbuka menampung namamu
Jika aku ada waktu
Aku akan mengunjungi kedua tanganmu yang tertutup
Entah apa namaku masih tertampung pada kedua tanganmu itu
Sungguh, aku tak pernah menyesali keadaan ini
Apalagi, aku tidak akan menyalahkan,
jika kita memang berbeda
Requested by Someone.
Senin, 22 Februari 2016
Apa yang Sedang Mama Persiapkan?
"Ketahuilah, Tania dan Dede... Daun yang jatuh tak pernah membenci angin... Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. Tania, kau lebih dari dewasa untuk memahami kalimat itu... Tidak sekarang, esok lusa kau akan tahu artinya... Dan saat kau tahu apa artinya, semua ini akan terlihat berbeda. Kita harus pulang, Tania."
Aku menelan ludah. Tertunduk.
"Dan Dede... Bukankan Oom pernah ikut bersamamu saat mengubur si ikan cupang? Ibu juga tak akan pernah kembali seperti si ikan cupang. Dia sudah pergi ke tempat yang paling indah... Surga yang sering Oom ceritakan setiap hari Minggu... Ibu akan bahagia di sana..."
"Tetapi kenapa Ibu tidak mengajak Dede!" adikku memotong dengan suara terisak, berusaha mengibaskan tangan dia. Kakinya semakin menghujam dalam di atas tanah merah.
"Karena Ibu sedang menyiapkan banyak hal di sana... Seperti saat pagi-pagi Ibu menyiapkan sarapan buat Dede dan Tania... Nanti, kalau sudah siap, kita juga akan pergi ke sana suatu saat... Sekarang kita hanya akan mengganggu saja.
"Ibu akan datang seperti saat membangunkan kalian pagi-pagi untuk bersiap berangkat sekolah... Tetapi sebelum waktunya tiba, kita harus pulang ke rumah malam ini, tidur yang nyenyak, esok pagi bangun melanjutkan kehidupan... Suatu hari nanti kita akan bertemu lagi dengan Ibu... Dia pasti menjemput."
—Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Tere Liye.
***
Hari ini hari ke 4 tanpa adanya kehadiranmu Mama. Tidak ada yang membangunkanku untuk menyiapkan Quacker Oatmeal setiap paginya. Apa Mama tidak lapar?
Setelah mengantar Ayah dan Dede, aku terbiasa menengok ke dalam kamar. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi yang tergulai lemah di sana. Mama dimana?
Aku bersyukur, Mama tidak perlu lagi berteriak, meringis, menangis merasakan sakitnya. Mama adalah orang terkuat yang mampu melawan apa yang sedang menyerangnya. Tapi, kenapa Mama menyerah? Apa penyakit itu terlalu jahat?
Pukul 8 pagi, 2 siang, dan 8 malam, Mama tidak perlu lagi menenggak obat-obat pahit yang selalu Mama keluhkan. "Kenapa banyak sekali?" pertanyaan itu selalu dilontarkan Mama ketika aku membawa obat-obatnya untuk diminum. Namun sekarang Mama sudah terbebas dari obat-obat yang pahit itu.
Sekarang sayur di rumah selalu tidak habis, Ma. Dede jadi susah makan karena tidak ada yang menyuapi, kalau aku, aku masih seperti dulu yang tidak suka makan sayur. Mama kenapa tidak marah lagi ketika aku tidak makan sayur? Tapi tenang, Ayah tidak pernah absen untuk memaksaku menghabiskan sayur pada malam hari.
Ah iya, apa Mama sudah tahu kalau Dede akan maju mewakili Jatiasih untuk olimpiade matematika bulan Maret nanti? Aku malu, Ma, Dede sekecil itu sudah bisa membuatmu dan Ayah bahagia. Mama harus dengar apa yang Dede ucapkan kemarin pada saat upacara, "Ini kado spesial untuk Mama."
Lalu Dede bertanya kepadaku, "Kenapa guru-guru menangis? Caca juga kenapa menangis? Dede, kan, menang lomba, masa menangis?" Apa yang harus aku katakan kepada Dede, Ma?
Aku tak tahu, Ma. Apa yang Dede rasakan saat ini, Dede masih bermain mobil-mobilannya seperti biasa, atau bermain game di handphone Mama. Kenapa Mama tidak memarahi Dede lagi karena lebih sering bermain?
Ayah untuk seminggu ke depan pulang cepat dari biasanya, katanya takut kalau aku sama Dede sendirian. Tapi aku sedih, Ma, saat melihat Ayah selalu menengok ke dalam kamar dan sudah tidak ada Mama disitu, mata Ayah selalu memerah. Aku lebih suka Ayah terus bekerja daripada melihat Ayah menangis.
Pukul 9 malam aku menemani Ayah makan malam, dan terkadang dipaksa ikut makan juga. Hah, sudah berapa kilogram berat badanku naik. Apa Mama tidak mau menemani Ayah makan malam seperti biasanya?
Sudah 4 hari, apa yang sudah Mama persiapkan disana? Apa yang akan Mama perlihatkan kepada kami nantinya? Mama pasti menyiapkan untuk kita bersama-sama lagi, kan?
Aku senang membayangkan Mama disana bisa berjalan seperti dahulu. Pasti Mama juga merindukan kaki Mama yang sehat, kan? Mama pasti merias diri Mama untuk bertemu dengan kami kembali. Mama selalu cantik dalam kondisi apapun, apalagi sekarang Mama di Surga, tempat terindah yang disiapkan Tuhan untuk Mama terhebat yang kuat menghadapi sesuatu.
Saat Mama di jemput, apa Mama bertemu malaikat tampan seperti drama Korea kesukaan Mama yaitu 49 Days? Ah, setidaknya Mama tidak perlu bersusah payah mengumpulkan 3 tetes air mata untuk beristirahat dengan tenang.
Terimakasih Tuhan, Kau telah mempersilahkan aku lebih dekat dengan Mama untuk beberapa bulan ini. Entah apa bisa aku menebus kesalahanku sebelumnya, namun aku bisa merasakan kasih sayang Mama di minggu-minggu terakhirnya.
Caca sayang Mama selalu dan sampai kapanpun.
— 23 Februari 2016, 08:52 WIB.
Aku menelan ludah. Tertunduk.
"Dan Dede... Bukankan Oom pernah ikut bersamamu saat mengubur si ikan cupang? Ibu juga tak akan pernah kembali seperti si ikan cupang. Dia sudah pergi ke tempat yang paling indah... Surga yang sering Oom ceritakan setiap hari Minggu... Ibu akan bahagia di sana..."
"Tetapi kenapa Ibu tidak mengajak Dede!" adikku memotong dengan suara terisak, berusaha mengibaskan tangan dia. Kakinya semakin menghujam dalam di atas tanah merah.
"Karena Ibu sedang menyiapkan banyak hal di sana... Seperti saat pagi-pagi Ibu menyiapkan sarapan buat Dede dan Tania... Nanti, kalau sudah siap, kita juga akan pergi ke sana suatu saat... Sekarang kita hanya akan mengganggu saja.
"Ibu akan datang seperti saat membangunkan kalian pagi-pagi untuk bersiap berangkat sekolah... Tetapi sebelum waktunya tiba, kita harus pulang ke rumah malam ini, tidur yang nyenyak, esok pagi bangun melanjutkan kehidupan... Suatu hari nanti kita akan bertemu lagi dengan Ibu... Dia pasti menjemput."
—Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Tere Liye.
***
Hari ini hari ke 4 tanpa adanya kehadiranmu Mama. Tidak ada yang membangunkanku untuk menyiapkan Quacker Oatmeal setiap paginya. Apa Mama tidak lapar?
Setelah mengantar Ayah dan Dede, aku terbiasa menengok ke dalam kamar. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi yang tergulai lemah di sana. Mama dimana?
Aku bersyukur, Mama tidak perlu lagi berteriak, meringis, menangis merasakan sakitnya. Mama adalah orang terkuat yang mampu melawan apa yang sedang menyerangnya. Tapi, kenapa Mama menyerah? Apa penyakit itu terlalu jahat?
Pukul 8 pagi, 2 siang, dan 8 malam, Mama tidak perlu lagi menenggak obat-obat pahit yang selalu Mama keluhkan. "Kenapa banyak sekali?" pertanyaan itu selalu dilontarkan Mama ketika aku membawa obat-obatnya untuk diminum. Namun sekarang Mama sudah terbebas dari obat-obat yang pahit itu.
Sekarang sayur di rumah selalu tidak habis, Ma. Dede jadi susah makan karena tidak ada yang menyuapi, kalau aku, aku masih seperti dulu yang tidak suka makan sayur. Mama kenapa tidak marah lagi ketika aku tidak makan sayur? Tapi tenang, Ayah tidak pernah absen untuk memaksaku menghabiskan sayur pada malam hari.
Ah iya, apa Mama sudah tahu kalau Dede akan maju mewakili Jatiasih untuk olimpiade matematika bulan Maret nanti? Aku malu, Ma, Dede sekecil itu sudah bisa membuatmu dan Ayah bahagia. Mama harus dengar apa yang Dede ucapkan kemarin pada saat upacara, "Ini kado spesial untuk Mama."
Lalu Dede bertanya kepadaku, "Kenapa guru-guru menangis? Caca juga kenapa menangis? Dede, kan, menang lomba, masa menangis?" Apa yang harus aku katakan kepada Dede, Ma?
Aku tak tahu, Ma. Apa yang Dede rasakan saat ini, Dede masih bermain mobil-mobilannya seperti biasa, atau bermain game di handphone Mama. Kenapa Mama tidak memarahi Dede lagi karena lebih sering bermain?
Ayah untuk seminggu ke depan pulang cepat dari biasanya, katanya takut kalau aku sama Dede sendirian. Tapi aku sedih, Ma, saat melihat Ayah selalu menengok ke dalam kamar dan sudah tidak ada Mama disitu, mata Ayah selalu memerah. Aku lebih suka Ayah terus bekerja daripada melihat Ayah menangis.
Pukul 9 malam aku menemani Ayah makan malam, dan terkadang dipaksa ikut makan juga. Hah, sudah berapa kilogram berat badanku naik. Apa Mama tidak mau menemani Ayah makan malam seperti biasanya?
Sudah 4 hari, apa yang sudah Mama persiapkan disana? Apa yang akan Mama perlihatkan kepada kami nantinya? Mama pasti menyiapkan untuk kita bersama-sama lagi, kan?
Aku senang membayangkan Mama disana bisa berjalan seperti dahulu. Pasti Mama juga merindukan kaki Mama yang sehat, kan? Mama pasti merias diri Mama untuk bertemu dengan kami kembali. Mama selalu cantik dalam kondisi apapun, apalagi sekarang Mama di Surga, tempat terindah yang disiapkan Tuhan untuk Mama terhebat yang kuat menghadapi sesuatu.
Saat Mama di jemput, apa Mama bertemu malaikat tampan seperti drama Korea kesukaan Mama yaitu 49 Days? Ah, setidaknya Mama tidak perlu bersusah payah mengumpulkan 3 tetes air mata untuk beristirahat dengan tenang.
Terimakasih Tuhan, Kau telah mempersilahkan aku lebih dekat dengan Mama untuk beberapa bulan ini. Entah apa bisa aku menebus kesalahanku sebelumnya, namun aku bisa merasakan kasih sayang Mama di minggu-minggu terakhirnya.
Caca sayang Mama selalu dan sampai kapanpun.
— 23 Februari 2016, 08:52 WIB.
Langganan:
Postingan (Atom)