Minggu, 05 Juni 2016

Di Atas Perasaan Cinta yang Sama



Satu tahun. Iya, sudah satu tahun saya masih berpijak di atas perasaan cinta yang sama. Puluhan tulisan, bait demi bait saya rangkai untuk kamu. Saya lakukan itu bukan hanya untuk membuatmu sadar bahwa di sini saya masih ingin mendengarkan penjelasan kamu. Tapi, saya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa saya pernah memiliki seseorang yang diam, yang unik, dan yang hebat.
Perkenalan kita sama seperti pasangan-pasangan remaja lainnya, tumbuh subur di bawah atap sebuah gedung yang berisi anak-anak berseragam putih abu-abu. Tatapan mata itu, saya masih ingat pertama kali tatapan matamu itu membuat saya mencari-cari, ‘Bagaimana bisa hanya dengan tatapan milik seorang remaja laki-laki pendiam membuat seorang remaja perempuan terus memikirkan itu 24 jam sehari?’.
Romantis dengan sisi yang berbeda, itu yang selalu saya ingat dari kamu. Kamu memang bukan tipe laki-laki yang selalu menanyakan keadaan, bertanya apakah saya sudah makan atau belum, dan pertanyaan-pertanyaan biasa yang selalu ditanyakan setiap laki-laki untuk memulai sebuah obrolan. Kamu juga bukan laki-laki yang selalu menuruti permintaan pasangannya, saya juga harus tahu diri, saya tak bisa menuntut tapi kamu selalu mewujudkannya tanpa pernah menjanjikan apapun.
Kamu adalah tipe laki-laki pendiam dan saya akui, mungkin dalam hampir satu tahun setengah semenjak perjalanan itu dimulai, sebagian besar saya yang menjadi penyulut perbincangan, dan bukan kamu. Tapi, setiap pasangan harus selalu melengkapi, bukan? Saya begitu paham sikap dan sifat kamu, jadi kamu harus tahu, setiap kamu berbicara lebih panjang dari biasanya hati saya selalu bergetar. Dan saya selalu ingat kejadian itu, begitu juga obrolan panjang yang langka itu.
Untuk urusan pertengkaran, pasangan mana yang tidak mempunyai masalah? Satu ataupun dua pasti akan muncul di antara benih-benih cinta yang kalian taburkan. Saya adalah perempuan yang paling cemburu, apalagi mendengar kata ‘mantan’ masih mengusik kehidupan kamu, saya tak tinggal diam. Sambil mengucapkan sumpah serapah untuk masa lalu kamu yang masih mengusik itu, kamu hanya berkata dengan tegas, “Jangan dengarkan dia, kalau kamu percaya saya, kamu tidak perlu cemas hanya karena kata-katanya yang jelas-jelas bohong.”
Suaramu adalah sebuah lagu penenang dalam kehidupan saya, entah baru kali ini saya menumpahkan segala harapan, impian, dan angan-angan masa depan yaitu selalu bersama kamu. Bintang seolah selalu jatuh untuk mewujudkan satu demi satu harapan yang saya panjatkan di setiap malam panjang saya. Saya percaya kamu, salah satu alasan saya selalu percaya terhadap kamu ialah kamu menjaga saya seperti apa yang saya katakan sebelum perjalanan kita dimulai.
Pundakmu itu adalah kenyamanan terindah, satu tingkat di bawah surga. Kamu menjaga saya saat saya membutuhkan solusi terbaik terhadap masalah yang sedang saya hadapi. Kamu menjaga saya dengan begitu hati-hati, seperti apa yang seharusnya laki-laki lakukan terhadap pasangannya. Saya terinspirasi untuk menjagamu dengan hati-hati juga, namun sepanjang perjalanan kita, yang saya lakukan sat itu adalah memastikan suhu tubuhmu menurun sebelum kamu mengurus sebuah acara sekolah esok harinya, namun saya harap kamu merasa terjaga saat itu.
Kamu selalu bersedia menyediakan kuping untuk mendengarkan perempuan tak bisa diam ini berbicara. Kamu begitu mengingat setiap jengkal cerita yang saya sampaikan. Saya juga yakin, kamu lelah saat mendengarkan saya bicara. Kamu bosan mendengarkan saya menceritakan sebuah cerita yang berputar-putar entah di mana pokok pikirannya, sama seperti tulisan ini sungguh berbelit-belit, tapi saya harap kamu paham di mana pokok pikirannya.
Ada satu hal yang masih belum saya paham dari kamu. Pada akhir-akhir bulan sebelum masa putih abu-abu saya berakhir, kamu dikit demi sedikit menghilang dari saya. Menghindar saat kamu tahu saya memperhatikan, mengabaikan semua panggilan dan pesan-pesan dari saya. Semua orang mulai mengkhawatirkan kita, namun betapa bodohnya saya masih menganggap itu hal yang wajar kamu lakukan karena sifat kamu yang memang tak banyak bicara.
Terakhir saya dan kamu bertemu sebagai sepasang kekasih, kamu masih diam. Kamu masih menghindar dari tatapan mata saya. Kamu juga seperti tak menganggap saya ada di dalam hari kamu saat itu. Sebelum hari itu berakhir, saya merasa cukup dengan perlakuan kamu yang seperti itu, saya harus memastikan hubungan diantara kita baik-baik saja. Kamu dengan tegasnya sambil menatap saya, “Tidak ada yang terjadi, saya baik-baik saja.” Saya kembali tersenyum saat itu, kembali ke rumah dengan suasana hati yang kembali bermekaran. Sungguh mudahnya kamu membuat diri saya kembali ceria.
Sebuah pesan singkat berbentuk suara berdurasi 4 menit 3 detik dari kamu, saya terima sore itu. Ini adalah hal bodoh lainnya yang saya lakukan, saya mendengarkan pesan singkat berbentuk suara kamu itu dengan terburu-buru. Saya berpikir, ‘Sungguh romantis sekali kamu mengirimkan sebuah pesan singkat berbentuk suara’, apalagi setelah saya baru mengerti bahwa selama ini hubungan kita baik-baik saja.
Saya terus berkata, “Sungguh, tidak apa-apa saya tidak masalah dengan semua itu,” sambil terus mendengarkan pesan singkat berbentuk suara itu. Kamu menjelaskan begitu jelas alasan di balik sikap kamu yang berubah, alasan mengapa kamu menghindar dan sikap lainnya yang membuat saya tersiksa. Kamu mengucapkan hal yang sungguh-sunguh tak pernah saya duga kamu akan mengucapkan hal itu terhadap saya. Lalu kamu menjelaskan bagaimana kamu bisa membuat keputusan seperti itu terhadap saya.
Menangis. Menangis. Dan terus menangis.
Banyak pertanyaan yang muncul di kepala saya saat itu. Tidak terima? Tentunya iya. Namun saya begitu paham bagaimana kamu, kamu tidak akan sembarang membuat keputusan. Saya masih percaya kamu punya banyak pertimbangan-pertimbangan yang membuat kamu memutuskan hal itu.
Sampai saat ini pun saya masih sama percaya itu. Walau setelah hari itu kita seperti dua orang yang tidak mengenal, sungguh saya ingin memanggil nama kamu tanpa beban seperti apa yang biasa saya lakukan. Namun, seperti lem menempel diantara ke dua bibir ini, bibir ini tak pernah terbuka bila saya melihat kamu.
Bila kamu membaca tulisan saya yang satu ini. Saya bukannya ingin membuka semuanya di dalam tulisan ini. Namun saya rindu. Kamu tau bagaimana rindu itu? Rindu itu begitu kejam. Rindu tak segan-segan menyiksa diri saya ketika saya mengingat semua hal tentang kamu.
Saya tidak merindukan kamu menjadi pasangan saya. Namun saya rindu bisa bersikap normal setiap bertemu kamu. Saya juga rindu bisa menyapa kamu dengan leluasa. Terlebih lagi, saya rindu pundak kamu dan juga tanggapan-tanggapan kamu terhadap masalah yang saya hadapi. Itu sebabnya sampai saat ini saya masih mencari kamu di antara segelintir manusia yang bisa saya ceritakan, saya masih menginginkan dan membutuhkan kamu di samping saya.
Yang terakhir, saya ingin mengingatkan bahwa rumah ini masih menginginkan kamu kembali pulang. Telinga ini masih menerima kapanpun kamu siap untuk menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaan yang masih berkumpul di pikiran saya. Dan raga ini masih kuat berdiri di atas perasaan cinta yang sama.