Satu tahun. Iya,
sudah satu tahun saya masih berpijak di atas perasaan cinta yang sama. Puluhan
tulisan, bait demi bait saya rangkai untuk kamu. Saya lakukan itu bukan hanya
untuk membuatmu sadar bahwa di sini saya masih ingin mendengarkan penjelasan
kamu. Tapi, saya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa saya pernah memiliki
seseorang yang diam, yang unik, dan yang hebat.
Perkenalan kita
sama seperti pasangan-pasangan remaja lainnya, tumbuh subur di bawah atap
sebuah gedung yang berisi anak-anak berseragam putih abu-abu. Tatapan mata itu,
saya masih ingat pertama kali tatapan matamu itu membuat saya mencari-cari, ‘Bagaimana bisa hanya dengan tatapan milik
seorang remaja laki-laki pendiam membuat seorang remaja perempuan terus
memikirkan itu 24 jam sehari?’.
Romantis dengan
sisi yang berbeda, itu yang selalu saya ingat dari kamu. Kamu memang bukan tipe
laki-laki yang selalu menanyakan keadaan, bertanya apakah saya sudah makan atau
belum, dan pertanyaan-pertanyaan biasa yang selalu ditanyakan setiap laki-laki
untuk memulai sebuah obrolan. Kamu juga bukan laki-laki yang selalu menuruti
permintaan pasangannya, saya juga harus tahu diri, saya tak bisa menuntut tapi
kamu selalu mewujudkannya tanpa pernah menjanjikan apapun.
Kamu adalah tipe
laki-laki pendiam dan saya akui, mungkin dalam hampir satu tahun setengah
semenjak perjalanan itu dimulai, sebagian besar saya yang menjadi penyulut
perbincangan, dan bukan kamu. Tapi, setiap pasangan harus selalu melengkapi,
bukan? Saya begitu paham sikap dan sifat kamu, jadi kamu harus tahu, setiap
kamu berbicara lebih panjang dari biasanya hati saya selalu bergetar. Dan saya
selalu ingat kejadian itu, begitu juga obrolan panjang yang langka itu.
Untuk urusan
pertengkaran, pasangan mana yang tidak mempunyai masalah? Satu ataupun dua
pasti akan muncul di antara benih-benih cinta yang kalian taburkan. Saya adalah
perempuan yang paling cemburu, apalagi mendengar kata ‘mantan’ masih mengusik
kehidupan kamu, saya tak tinggal diam. Sambil mengucapkan sumpah serapah untuk
masa lalu kamu yang masih mengusik itu, kamu hanya berkata dengan tegas,
“Jangan dengarkan dia, kalau kamu percaya saya, kamu tidak perlu cemas hanya
karena kata-katanya yang jelas-jelas bohong.”
Suaramu adalah
sebuah lagu penenang dalam kehidupan saya, entah baru kali ini saya menumpahkan
segala harapan, impian, dan angan-angan masa depan yaitu selalu bersama kamu.
Bintang seolah selalu jatuh untuk mewujudkan satu demi satu harapan yang saya
panjatkan di setiap malam panjang saya. Saya percaya kamu, salah satu alasan
saya selalu percaya terhadap kamu ialah kamu menjaga saya seperti apa yang saya
katakan sebelum perjalanan kita dimulai.
Pundakmu itu
adalah kenyamanan terindah, satu tingkat di bawah surga. Kamu menjaga saya saat
saya membutuhkan solusi terbaik terhadap masalah yang sedang saya hadapi. Kamu
menjaga saya dengan begitu hati-hati, seperti apa yang seharusnya laki-laki
lakukan terhadap pasangannya. Saya terinspirasi untuk menjagamu dengan
hati-hati juga, namun sepanjang perjalanan kita, yang saya lakukan sat itu adalah
memastikan suhu tubuhmu menurun sebelum kamu mengurus sebuah acara sekolah esok
harinya, namun saya harap kamu merasa terjaga saat itu.
Kamu selalu
bersedia menyediakan kuping untuk mendengarkan perempuan tak bisa diam ini
berbicara. Kamu begitu mengingat setiap jengkal cerita yang saya sampaikan.
Saya juga yakin, kamu lelah saat mendengarkan saya bicara. Kamu bosan
mendengarkan saya menceritakan sebuah cerita yang berputar-putar entah di mana
pokok pikirannya, sama seperti tulisan ini sungguh berbelit-belit, tapi saya
harap kamu paham di mana pokok pikirannya.
Ada satu hal
yang masih belum saya paham dari kamu. Pada akhir-akhir bulan sebelum masa
putih abu-abu saya berakhir, kamu dikit demi sedikit menghilang dari saya.
Menghindar saat kamu tahu saya memperhatikan, mengabaikan semua panggilan dan
pesan-pesan dari saya. Semua orang mulai mengkhawatirkan kita, namun betapa
bodohnya saya masih menganggap itu hal yang wajar kamu lakukan karena sifat kamu
yang memang tak banyak bicara.
Terakhir saya
dan kamu bertemu sebagai sepasang kekasih, kamu masih diam. Kamu masih
menghindar dari tatapan mata saya. Kamu juga seperti tak menganggap saya ada di
dalam hari kamu saat itu. Sebelum hari itu berakhir, saya merasa cukup dengan
perlakuan kamu yang seperti itu, saya harus memastikan hubungan diantara kita baik-baik
saja. Kamu dengan tegasnya sambil menatap saya, “Tidak ada yang terjadi, saya
baik-baik saja.” Saya kembali tersenyum saat itu, kembali ke rumah dengan
suasana hati yang kembali bermekaran. Sungguh mudahnya kamu membuat diri saya
kembali ceria.
Sebuah pesan
singkat berbentuk suara berdurasi 4 menit 3 detik dari kamu, saya terima sore
itu. Ini adalah hal bodoh lainnya yang saya lakukan, saya mendengarkan pesan
singkat berbentuk suara kamu itu dengan terburu-buru. Saya berpikir, ‘Sungguh romantis sekali kamu mengirimkan
sebuah pesan singkat berbentuk suara’, apalagi setelah saya baru mengerti
bahwa selama ini hubungan kita baik-baik saja.
Saya terus
berkata, “Sungguh, tidak apa-apa saya tidak masalah dengan semua itu,” sambil
terus mendengarkan pesan singkat berbentuk suara itu. Kamu menjelaskan begitu
jelas alasan di balik sikap kamu yang berubah, alasan mengapa kamu menghindar
dan sikap lainnya yang membuat saya tersiksa. Kamu mengucapkan hal yang
sungguh-sunguh tak pernah saya duga kamu akan mengucapkan hal itu terhadap
saya. Lalu kamu menjelaskan bagaimana kamu bisa membuat keputusan seperti itu
terhadap saya.
Menangis.
Menangis. Dan terus menangis.
Banyak
pertanyaan yang muncul di kepala saya saat itu. Tidak terima? Tentunya iya.
Namun saya begitu paham bagaimana kamu, kamu tidak akan sembarang membuat
keputusan. Saya masih percaya kamu punya banyak pertimbangan-pertimbangan yang
membuat kamu memutuskan hal itu.
Sampai saat ini
pun saya masih sama percaya itu. Walau setelah hari itu kita seperti dua orang
yang tidak mengenal, sungguh saya ingin memanggil nama kamu tanpa beban seperti
apa yang biasa saya lakukan. Namun, seperti lem menempel diantara ke dua bibir
ini, bibir ini tak pernah terbuka bila saya melihat kamu.
Bila kamu
membaca tulisan saya yang satu ini. Saya bukannya ingin membuka semuanya di
dalam tulisan ini. Namun saya rindu. Kamu tau bagaimana rindu itu? Rindu itu
begitu kejam. Rindu tak segan-segan menyiksa diri saya ketika saya mengingat
semua hal tentang kamu.
Saya tidak
merindukan kamu menjadi pasangan saya. Namun saya rindu bisa bersikap normal
setiap bertemu kamu. Saya juga rindu bisa menyapa kamu dengan leluasa. Terlebih
lagi, saya rindu pundak kamu dan juga tanggapan-tanggapan kamu terhadap masalah
yang saya hadapi. Itu sebabnya sampai saat ini saya masih mencari kamu di
antara segelintir manusia yang bisa saya ceritakan, saya masih menginginkan dan
membutuhkan kamu di samping saya.
Yang terakhir,
saya ingin mengingatkan bahwa rumah ini masih menginginkan kamu kembali pulang.
Telinga ini masih menerima kapanpun kamu siap untuk menjelaskan semua
pertanyaan-pertanyaan yang masih berkumpul di pikiran saya. Dan raga ini masih
kuat berdiri di atas perasaan cinta yang sama.